Monday, August 6, 2012

Tentang Impian dan Seorang Teman Pembawa Inspirasi


"Apa kamu pernah merasa bahwa kamu semakin jauh dari impianmu, sementara orang lain terlihat begitu dekat dengan mimpinya? Tidakkah kamu merasa iri?"

***

Hari ini saya bertanya-tanya, "Dia sedang apa ya?"

Dia siapa, yang pasti bukan pacarku. Bukan keluargaku. Bukan saudaraku. Tapi juga bukan "bukan siapa-siapa"-ku. Dia temanku. Dan kami cukup dekat. Dia pernah menjadi orang terdekatku. Temanku dari SMP. Jelas, dia "siapa-siapa"-ku kan?

Bukan hanya itu, bukan sekedar teman biasa. Bisa dibilang kami bersahabat. Lebih dari itu, dia orang yang pernah menjadi inspirasiku. Bukan karena dirinya memotivasiku, dia bahkan tidak melakukan apa-apa. 
Dia juga tidak pernah mencoba jadi orang lain. Selama ini dia cukup menjadi dirinya sendiri untuk bisa menjadi inspirasi bagi orang lain. 

Dia orang yang memiliki kekuatan dan aura. Dan orang yang memiliki kekuatan dan aura selalu berhasil menjadi orang hebat yang dapat membuat orang lain merasa hebat karenanya. 
Tanpa disadarinya, temanku yang satu itu cukup memberiku vibrasi untuk termotivasi. 

Dia menyadarkanku bahwa aku punya impian. Bahwa aku punya hobi, kesukaan yang ingin kugeluti.
Kesenanganku dalam membangun dunia di alam pikir, aku sadar menyukai hal itu.
Bukankah menyenangkan dapat menyelami sudut pandang seseorang dengan membaca suatu cerita dari seorang penulis, apalagi jika kau mampu menuliskannya kembali menurut versimu.
  
Lalu aku bergumam lagi. Dalam benakku, "Mungkin dia sedang mengejar impiannya."
Aku merengut. Aku bagaimana? 

Mungkin baginya dunia itu impiannya, namun bagiku dunia itu hanyalah hobi. Aku bahkan belum mengetahui apa impianku secara nyata. Di sini pun aku sedang mengejar bidang yang lain. Dunia perkuliahan malah menarikku ke jenjang industri, statistika, manajemen, organisasi perusahaan, kepabrikan, analisa kelayakan mesin, dan entah masih banyak lagi. 

Tadinya aku berpikir aku melenceng jauh. Tapi ini pilihanku. Aku telah memutuskan. Dan aku merasa tidak ada yang salah dengan hal itu. Jadi aku hanya akan menjalani apa yang ada di depan mata. Aku percaya tidak ada hal yang sia-sia terjadi dalam hidup ini, hidupku, dan hidupmu. Aku percaya semua hal terjadi karena suatu alasan. Termasuk "peristiwa" bahwa aku sekarang berdiri di ranah industri, bukan berarti aku akan jauh dari hal-hal yang kusukai: sastra. 

Dan aku berjanji pada diriku sendiri. Apapun hal yang kujalani saat ini, aku akan fokus.
Fokus menjadi apapun. Hingga akhirnya aku berhasil seperti apa yang diinginkan dan diperlukan, untuk Sang Tujuan, untuk orang-orang yang kusayangi, untuk orang banyak, dan untuk diriku sendiri.

Sambil tersenyum, aku mendoakannya, "Semoga kelak kau menjadi orang yang berhasil, Aninta Ekanila Mamoedi."


                                                                  Unfailing Regards,
 

Sunday, August 5, 2012

Kuat Itu Apa?


"Ya tapi harus kuat dong kalo di depan aku."
Aku hampir mencibir, itu mustahil dalam benakku. Namun yang kulakukan hanya mengangguk. Mencoba tersenyum, "Aku mengerti."


***
 
"Kuat itu apa?" anganku bertanya. Mungkinkah jawabannya retoris?
Mungkinkah jawabannya subjektif?
Bolehkah aku memiliki kesimpulan sendiri mengenai hal ini? Lagian, bukankah setiap pemilik akal adalah "sutradara" dalam dunianya masing-masing? Maka, bagiku mungkin begini:
Kuat itu ketika kamu mampu untuk tidak memberitahu siapapun kamu sedang bersedih atau tidak menceritakan masalahmu pada siapapun dan tetap berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja. 
Bukankah begitu? Menurutmu, bagaimana?


 ***


Lalu mengapa bagiku itu sukar dilakukan?

Kenapa aku selalu selemah ini?

Kenapa aku tidak pernah bisa jadi lebih kuat?

Kenapa rasanya sulit bagiku untuk jadi gadis yang lebih tegar?


Hey, kau.

bisakah beri aku jawabannya?


                                                               Unfailing Regards,

Friday, August 3, 2012

Tergugu

saya suka menulis.
saya suka membaca.
tapi itu dulu.
mungkin begitu.
karena terkadang saya hanya diam membisu.
tiba-tiba gagu.
tiba-tiba buntu.
tiba-tiba terpaku.
seolah saya mendadak buta huruf-huruf itu.
tidak paham apa dan bagaimana mengeja alfabet tertentu.
terkadang saya biarkan mereka berserakkan pilu.
bergeletakkan, begitu saja lalu rapuh.
karena terkadang jemari dan otak sastra saya kaku.
gagu.
buntu.
terpaku.
sampai akhirnya benar-benar lesu.
dan yang terjadi kemudian menunggu.
saya malu.
sebab mimpi itu terasa hanya semu.
meski merindu buku.
namun saya termangu.
pada akhirnya saya berhenti begitu.
diacuhkan waktu.
tergugu.


                                                                 Unfailing Regards,