Sunday, September 28, 2014

Seharian dan Layang-layang

seharian yang aku damba.
terkadang tidak menginginkan banyaknya destinasi atau kegiatan khusus.

terkadang aku hanya ingin
duduk berjam-jam di suatu tempat.
mengobrol tentang banyak hal.
saling terbuka berbicara dari hati ke hati.

namun terkadang waktu belum begitu cukup.
dan malam harus kembali ke peraduan.
dan besok pagi rutinitas sudah menunggu.
kita harus pulang, meskipun aku merasa sangat enggan..


Sumber gambar:  http://1.bp.blogspot.com/-6gQ55yZq0mI/Tc_rURamxjI/AAAAAAAAAFA/cAmj-we2j_Y/s320/layang-layang.jpg



apa perlu dipendam saja sementara waktu.
perasaan rindu seperti ini.
aku akan biarkan layangan ini terbang mengangkasa.
tapi akan tetap kubendeng talinya sambil tersenyum.
suatu saat layang-layang kokoh ini akan sangat lelah menatap angkasa.
sehingga dia kembali padaku mencari rumah, melepas segala perkara.
pada saat itu datang, aku akan sudah sangat sabar menunggu.
dan pada akhirnya dia akan meyadari dan mengerti keberadaanku selama ini.
jadi layang-layang akan selalu pulang.
karena aku akan selalu ada.
untuknya.



Let me go home
I’m just too far from where you are
I wanna come home

And I feel just like I’m living someone else’s life
It’s like I just stepped outside
When everything was going right
And I know just why you could not
Come along with me
This was not your dream
But you always believed in me


-Home-Michael Buble-





                                                                                                        Unfailing Regards,
 

Wednesday, September 24, 2014

Memori 24 September 2014.

harinya lewat begitu saja.
percuma mengharapkan ekpektasi.
kalau hanya akan mengecewakan diri sendiri.
tapi aku tetap bersyukur kok.
meskipun terkadang sesuatu tidak berjalan sesuai harapan,
aku yakin Tuhan punya rencana lain.

kesedihan dan kekecewaan akan digantiNya dengan kebahagiaan dan kepuasan rasa syukur.
aku percaya bahwa smua ada waktunya,
aku percaya bahwa smua ada gantinya.


dan dengan satu doa aku belajar untuk dewasa..

"Terimakasih Tuhan, umur yang ke-22 ini sungguh anugerahMu yang istimewa.
semoga aku menjalaninya sebagai manusia yang penuh syukur dan takut akan Engkau, serta berguna bagi banyak orang."

***

harinya lewat begitu saja.
tapi aku ingat..
tetap ada mawar pink. doa ucapan dan senyum memikat dari pujaan hati.
ucapan tulus dan doa-doa pertama kali dari keluarga yang paling aku sayangi; mama, papa, mba dita, mas putut, mas dodid, ayu, dan eyang.
kue capuccino cheese. lilin pink kecil yang menyala. dari seorang sahabat 9 tahun lebih.
beberapa doa dan ucapan yang menghibur dari para tante dan sepupu yang paling menyenangkan.
salam-salam jauh berupa ucapan selamat dari kawan-kawan lama.
jabat tangan hangat dan kata-kata singkat dari teman-teman seperjuangan satu jurusan Teknik Industri.

dan tentunya..
senyum bahagia dan hati yang semoga ikhlas dari diriku sendiri karena kebaikan Tuhan yang teramat besar.

bolehkah aku mengingat hari ulang tahunku tetap seperti itu?
seperti bahagia yang boleh aku rasa, seperti syukur yang boleh aku terima.

meskipun ada hal yang membuatku termangu, tapi aku ingat harus tetap bahagia.

ya, karena ada hal-hal kecil yang tetap membahagiakan dari orang-orang tersayang, ya kan?
dan aku akan selalu mengingatnya seperti itu :)



                                                                                            Unfailing Regards,
 

Wednesday, September 10, 2014

“Ayah, Selamat Ulang Tahun.”



Lilin menyala. 

Angka tujuh puluh empat berwarna merah itu bertengger disana.

Di atas kue ulang tahun bertabur keju dan coklat almond yang ditemani tulisan krim putih:

“Selamat Hari Ulang Tahun, Ayah.”



---

Aku lihat raut muka Ayah, ia tampak gembira di tengah kelelahannya sehabis bekerja. Pulang kerja, perjalanan jauh ditempuhnya, dan apa yang beliau dapat? Kejutan kecil dari anak-anak dan tentunya istri tercinta, alias Mama-ku.

Raut muka yang itu. Aku pandang lekat. Perasaan bahagia pasti ada jika melihat raut muka yang itu bisa tersenyum, bisa tertawa, atau bahkan sekedar mengucap kelakar “Wah, pulang-pulang dapat roti, kue ulang tahun!” ujarnya sambil terkekeh.

Kekeh yang keluar dari seseorang yang sangat kuhormati, pria paling terhormat yang pernah aku temui dalam hidupku, dan selamanya tidak akan pernah ada yang bisa menggantikan ‘tempat istimewa’nya di hatiku.  Beliau adalah Ayahku, pelindung kami, aku dan saudara-saudaraku, juga pendamping dan sahabat spesial Mamaku, sampai kapanpun.

Kekeh yang terdengar tua, keluar dari seseorang yang memang semakin bertambah tua. Beliau duduk dengan mata berbinar, menatap lekat kue berbentuk persegi panjang di depannya, sambil menunggu nyanyian “happy birthday” untuknya selesai kami latunkan. Cahaya matahari mempertegas kerutan-kerutan yang sudah ada di wajahnya sejak lama, bukti usia dan kelelahan yang sudah bertahun-tahun dimilikinya. Rambutnya mulai menipis di beberapa tempat, namun masih berwarna hitam, entah karena warna aslinya begitu atau memang cat yang sengaja dipoles untuk menutupi rambut-rambut putih bandel yang dijuluki ‘uban’.

Aku masih muda. Umur aku dan Ayah memang bisa dibilang terpaut sangat jauh untuk ‘ukuran umur ayah dan anak’. Tapi aku tidak terlalu polos dan muda untuk bisa melihat dengan jelas wajah penuh keringat itu, dalam rupanya, dalam dirinya, dalam hatinya, dalam setiap aura yang terpancar darinya, bahwa ia kelelahan. Bukan sekedar lelah biasa, tapi lelah yang mampu membuat siapapun yang melihatnya khawatir dan cemas.

Bahkan saat matanya terpejam, melakukan ‘make a wish’ seperti kebiasaan kami jika ada yang berulangtahun, aku bisa melihat waktu seakan berhenti berputar. Detik-detik seolah melambat ketika matanya terbuka kemudian mulutnya meniupkan angin untuk mematikan lilin berwarna merah itu. Bukan hanya aku, tapi juga saudara-saudaraku, terutama Mama, pasti merasakan apa yang aku pikirkan saat ini.

Perasaan takut dan simpatik yang menjalar-jalar setiap kali mendengar suara nafasnya yang hampir satu-satu, perasaan bertanya-tanya dan hati yang selalu berdoa untuk kesehatan Ayah setiap saat, setiap waktu, setiap tarikan nafas hidupnya.

Apapun yang dilakukannya, mungkin tahun-tahun kelam dimana keluarga kami seperti rumah sunyi, dimana sikap acuh berkobar dalam kepahitan yang terus dipendam, aku memutuskan untuk memaafkannya. Aku memutuskan untuk berhenti bersikap menghindar dan seolah bermusuhan dengannya. Mencoba memahaminya dengan memutuskan bahwa beliau punya alasan mengapa itu dilakukannya, menjadi Ayah sekaligus Suami yang menjaga jarak dengan anak-anak dan istrinya. Yang selama bertahun-tahun mengecewakan keluarga kecilnya sendiri.

Jadi, aku mencoba bersikap dewasa dan membuang jauh segala pikiran sempit dan prasangka. Aku pikir: Mengapa tidak membuka diri, mengapa tidak saling memaafkan dan belajar saling mengerti ketika kau masih sanggup melakukannya? Sebelum semuanya terlambat.

Tapi Ayah, cukup hari ini saja, lupakan itu semua ya. Yang ingin aku lihat dan kenang dari hari membahagiakan ini hanya satu, yaitu wajah bahagia dari pria yang paling kuhormati di dunia ini. Tersenyumlah, Ayah. 

Biarkan kue berwarna putih almond dan keju kuning pucat itu menarik urat-urat senyummu. 
Biarkan dua kado yang terbungkus rapi nanti menyimpan kejutan kecil untukmu. 
Biarkan bubur hangat buatan Mama yang sebentar lagi akan kau santap memberikan energi baru untuk tubuh yang letih itu. 
Biarkan rasa cinta dan sayang dari istri dan anak-anakmu mendoakan kesehatanmu.


---


“Tetaplah sehat, Ayah. Tuhan selalu menyertaimu.
Kepahitan apapun yang pernah terjadi, kami akan tetap menyayangi dan membanggakanmu, karena kami tetap keluargamu. Seutuhnya.”


25 Agustus 2014.
Latepost.
Rumah.



                                                            Unfailing Regards,