Lilin menyala.
Angka tujuh puluh empat berwarna merah itu bertengger disana.
Di atas kue ulang tahun bertabur keju dan coklat almond yang
ditemani tulisan krim putih:
“Selamat Hari Ulang Tahun, Ayah.”
---
Aku lihat raut muka Ayah, ia tampak gembira di tengah
kelelahannya sehabis bekerja. Pulang kerja, perjalanan jauh ditempuhnya, dan
apa yang beliau dapat? Kejutan kecil dari anak-anak dan tentunya istri
tercinta, alias Mama-ku.
Raut muka yang itu. Aku pandang lekat. Perasaan bahagia
pasti ada jika melihat raut muka yang itu bisa tersenyum, bisa tertawa, atau
bahkan sekedar mengucap kelakar “Wah, pulang-pulang dapat roti, kue ulang
tahun!” ujarnya sambil terkekeh.
Kekeh yang keluar dari seseorang yang sangat kuhormati, pria
paling terhormat yang pernah aku temui dalam hidupku, dan selamanya tidak akan
pernah ada yang bisa menggantikan ‘tempat istimewa’nya di hatiku. Beliau adalah Ayahku, pelindung kami, aku dan
saudara-saudaraku, juga pendamping dan sahabat spesial Mamaku, sampai kapanpun.
Kekeh yang terdengar tua, keluar dari seseorang yang memang
semakin bertambah tua. Beliau duduk dengan mata berbinar, menatap lekat kue
berbentuk persegi panjang di depannya, sambil menunggu nyanyian “happy
birthday” untuknya selesai kami latunkan. Cahaya matahari mempertegas
kerutan-kerutan yang sudah ada di wajahnya sejak lama, bukti usia dan kelelahan
yang sudah bertahun-tahun dimilikinya. Rambutnya mulai menipis di beberapa
tempat, namun masih berwarna hitam, entah karena warna aslinya begitu atau
memang cat yang sengaja dipoles untuk menutupi rambut-rambut putih bandel yang
dijuluki ‘uban’.
Aku masih muda. Umur aku dan Ayah memang bisa dibilang terpaut
sangat jauh untuk ‘ukuran umur ayah dan anak’. Tapi aku tidak terlalu polos dan
muda untuk bisa melihat dengan jelas wajah penuh keringat itu, dalam rupanya,
dalam dirinya, dalam hatinya, dalam setiap aura yang terpancar darinya, bahwa
ia kelelahan. Bukan sekedar lelah biasa, tapi lelah yang mampu membuat siapapun
yang melihatnya khawatir dan cemas.
Bahkan saat matanya terpejam, melakukan ‘make a wish’
seperti kebiasaan kami jika ada yang berulangtahun, aku bisa melihat waktu
seakan berhenti berputar. Detik-detik seolah melambat ketika matanya terbuka kemudian
mulutnya meniupkan angin untuk mematikan lilin berwarna merah itu. Bukan hanya
aku, tapi juga saudara-saudaraku, terutama Mama, pasti merasakan apa yang aku
pikirkan saat ini.
Perasaan takut dan simpatik yang menjalar-jalar setiap kali
mendengar suara nafasnya yang hampir satu-satu, perasaan bertanya-tanya dan
hati yang selalu berdoa untuk kesehatan Ayah setiap saat, setiap waktu, setiap
tarikan nafas hidupnya.
Apapun yang dilakukannya, mungkin tahun-tahun kelam dimana
keluarga kami seperti rumah sunyi, dimana sikap acuh berkobar dalam kepahitan
yang terus dipendam, aku memutuskan untuk memaafkannya. Aku memutuskan untuk
berhenti bersikap menghindar dan seolah bermusuhan dengannya. Mencoba
memahaminya dengan memutuskan bahwa beliau punya alasan mengapa itu
dilakukannya, menjadi Ayah sekaligus Suami yang menjaga jarak dengan anak-anak
dan istrinya. Yang selama bertahun-tahun mengecewakan keluarga kecilnya
sendiri.
Jadi, aku mencoba bersikap dewasa dan membuang jauh segala pikiran sempit dan prasangka. Aku pikir: Mengapa tidak membuka diri, mengapa tidak saling memaafkan dan belajar saling mengerti ketika kau masih sanggup melakukannya? Sebelum semuanya terlambat.
Jadi, aku mencoba bersikap dewasa dan membuang jauh segala pikiran sempit dan prasangka. Aku pikir: Mengapa tidak membuka diri, mengapa tidak saling memaafkan dan belajar saling mengerti ketika kau masih sanggup melakukannya? Sebelum semuanya terlambat.
Tapi Ayah, cukup hari ini saja, lupakan itu semua ya. Yang
ingin aku lihat dan kenang dari hari membahagiakan ini hanya satu, yaitu wajah
bahagia dari pria yang paling kuhormati di dunia ini. Tersenyumlah, Ayah.
Biarkan kue berwarna putih almond dan keju kuning pucat itu menarik urat-urat
senyummu.
Biarkan dua kado yang terbungkus rapi nanti menyimpan kejutan kecil
untukmu.
Biarkan bubur hangat buatan Mama yang sebentar lagi akan kau santap
memberikan energi baru untuk tubuh yang letih itu.
Biarkan rasa cinta dan
sayang dari istri dan anak-anakmu mendoakan kesehatanmu.
---
“Tetaplah sehat, Ayah. Tuhan selalu menyertaimu.
Kepahitan apapun yang pernah terjadi, kami akan tetap
menyayangi dan membanggakanmu, karena kami tetap keluargamu. Seutuhnya.”
25 Agustus 2014.
Latepost.
Latepost.
Rumah.
Unfailing Regards,
No comments:
Post a Comment