Wednesday, September 10, 2014

“Ayah, Selamat Ulang Tahun.”



Lilin menyala. 

Angka tujuh puluh empat berwarna merah itu bertengger disana.

Di atas kue ulang tahun bertabur keju dan coklat almond yang ditemani tulisan krim putih:

“Selamat Hari Ulang Tahun, Ayah.”



---

Aku lihat raut muka Ayah, ia tampak gembira di tengah kelelahannya sehabis bekerja. Pulang kerja, perjalanan jauh ditempuhnya, dan apa yang beliau dapat? Kejutan kecil dari anak-anak dan tentunya istri tercinta, alias Mama-ku.

Raut muka yang itu. Aku pandang lekat. Perasaan bahagia pasti ada jika melihat raut muka yang itu bisa tersenyum, bisa tertawa, atau bahkan sekedar mengucap kelakar “Wah, pulang-pulang dapat roti, kue ulang tahun!” ujarnya sambil terkekeh.

Kekeh yang keluar dari seseorang yang sangat kuhormati, pria paling terhormat yang pernah aku temui dalam hidupku, dan selamanya tidak akan pernah ada yang bisa menggantikan ‘tempat istimewa’nya di hatiku.  Beliau adalah Ayahku, pelindung kami, aku dan saudara-saudaraku, juga pendamping dan sahabat spesial Mamaku, sampai kapanpun.

Kekeh yang terdengar tua, keluar dari seseorang yang memang semakin bertambah tua. Beliau duduk dengan mata berbinar, menatap lekat kue berbentuk persegi panjang di depannya, sambil menunggu nyanyian “happy birthday” untuknya selesai kami latunkan. Cahaya matahari mempertegas kerutan-kerutan yang sudah ada di wajahnya sejak lama, bukti usia dan kelelahan yang sudah bertahun-tahun dimilikinya. Rambutnya mulai menipis di beberapa tempat, namun masih berwarna hitam, entah karena warna aslinya begitu atau memang cat yang sengaja dipoles untuk menutupi rambut-rambut putih bandel yang dijuluki ‘uban’.

Aku masih muda. Umur aku dan Ayah memang bisa dibilang terpaut sangat jauh untuk ‘ukuran umur ayah dan anak’. Tapi aku tidak terlalu polos dan muda untuk bisa melihat dengan jelas wajah penuh keringat itu, dalam rupanya, dalam dirinya, dalam hatinya, dalam setiap aura yang terpancar darinya, bahwa ia kelelahan. Bukan sekedar lelah biasa, tapi lelah yang mampu membuat siapapun yang melihatnya khawatir dan cemas.

Bahkan saat matanya terpejam, melakukan ‘make a wish’ seperti kebiasaan kami jika ada yang berulangtahun, aku bisa melihat waktu seakan berhenti berputar. Detik-detik seolah melambat ketika matanya terbuka kemudian mulutnya meniupkan angin untuk mematikan lilin berwarna merah itu. Bukan hanya aku, tapi juga saudara-saudaraku, terutama Mama, pasti merasakan apa yang aku pikirkan saat ini.

Perasaan takut dan simpatik yang menjalar-jalar setiap kali mendengar suara nafasnya yang hampir satu-satu, perasaan bertanya-tanya dan hati yang selalu berdoa untuk kesehatan Ayah setiap saat, setiap waktu, setiap tarikan nafas hidupnya.

Apapun yang dilakukannya, mungkin tahun-tahun kelam dimana keluarga kami seperti rumah sunyi, dimana sikap acuh berkobar dalam kepahitan yang terus dipendam, aku memutuskan untuk memaafkannya. Aku memutuskan untuk berhenti bersikap menghindar dan seolah bermusuhan dengannya. Mencoba memahaminya dengan memutuskan bahwa beliau punya alasan mengapa itu dilakukannya, menjadi Ayah sekaligus Suami yang menjaga jarak dengan anak-anak dan istrinya. Yang selama bertahun-tahun mengecewakan keluarga kecilnya sendiri.

Jadi, aku mencoba bersikap dewasa dan membuang jauh segala pikiran sempit dan prasangka. Aku pikir: Mengapa tidak membuka diri, mengapa tidak saling memaafkan dan belajar saling mengerti ketika kau masih sanggup melakukannya? Sebelum semuanya terlambat.

Tapi Ayah, cukup hari ini saja, lupakan itu semua ya. Yang ingin aku lihat dan kenang dari hari membahagiakan ini hanya satu, yaitu wajah bahagia dari pria yang paling kuhormati di dunia ini. Tersenyumlah, Ayah. 

Biarkan kue berwarna putih almond dan keju kuning pucat itu menarik urat-urat senyummu. 
Biarkan dua kado yang terbungkus rapi nanti menyimpan kejutan kecil untukmu. 
Biarkan bubur hangat buatan Mama yang sebentar lagi akan kau santap memberikan energi baru untuk tubuh yang letih itu. 
Biarkan rasa cinta dan sayang dari istri dan anak-anakmu mendoakan kesehatanmu.


---


“Tetaplah sehat, Ayah. Tuhan selalu menyertaimu.
Kepahitan apapun yang pernah terjadi, kami akan tetap menyayangi dan membanggakanmu, karena kami tetap keluargamu. Seutuhnya.”


25 Agustus 2014.
Latepost.
Rumah.



                                                            Unfailing Regards,

No comments:

Post a Comment